Monday, July 24, 2006

Musibah Parameter Keimanan

Oleh A. Nawawi Rambe

Seorang sahabat, Sa'ad bin Abi Waqqash, mengajukan serangkaian pertanyaan
kepada Nabi Muhammad SAW tentang tingkatan musibah atau bala yang dialami
manusia.

"Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling pedih balanya di dunia?"

"Para Nabi," jawab Rasulullah.

"Kemudian siapa lagi?"

"Para Wali."

"Kemudian siapa lagi?"

"Orang yang mirip dengan itu."

Orang yang mirip dengan para Nabi dan Wali, bisa saja ulama, atau pemimpin
umat. Semakin tinggi keimanan dan tanggung jawab seseorang, semakin berat
musibah atau ujian yang ditimpakan Allah kepadanya.

Sejarah mencatat, Nabi Ayyub a.s., misalnya, mendapat cobaan berat berupa
penyakit kulit. Sedemikian parahnya penyakit itu hingga berulat, sampai
istrinya sendiri meninggalkannya karena jijik. Saat Nabi Ayyub akan
berwudhu, ia tanggalkan ulat-ulat dari luka-luka di kulitnya dan usai
berwudhu ia kembalikan ulat-ulat itu ke luka-luka tadi (?), seakan tak hendak
menghentikan ulat-ulat itu menikmati luka-luka di tubuhnya. Bertahun ia
hidup menderita, namun sedikit pun tak mengurangi keimanannya kepada Allah.

Masih dalam catatan sejarah, ulama besar sekaliber Imam Syafi'i juga tak
luput dari ujian Tuhan. Tiga tahun ia menderita penyakit ambeien yang parah,
namun tak mengurangi aktivitasnya mengajar. Darah mengucur dari anusnya
sehingga alat penadah harus ditaruh di bawah tempat duduknya saat ia
mengajar.

Mengapa Allah menimpakan bala atas nabi-Nya, atas ulama pewaris nabi-Nya,
dan atas hamba-bambanya yang tak berdosa? Allah menjelaskan dalam
firman-Nya, liyasma' tadharru'ahu - karena la ingin mendengar keluh kesah
hamba-Nya itu.

Dilihat dari sisi ini, mungkin cobaan atau musibah yang berulangkali menimpa
bangsa kita adalah bentuk kerinduan Allah mendengar keluh kesah dan rintihan
kita kepada-Nya. Selama ini mungkin kita terlalu banyak berkeluh kesah
tentang keterpurukan bangsa kita, tentang kemiskinan, tentang penyakit yang
silih berganti mewabah, tentang banjir bandang, tentang longsor, tentang
kebobrokan mentalitas para pemimpin dan pejabat negara yang rakus dan doyan
korupsi, dan tentang banyak musibah lain. Tapi kita mengalamatkan keluhan
itu bahkan kutukan entah kepada siapa. Seringkali justru kepada pemerintah.
Padahal pemerintah bukanlah segala-galanya.

Mengapa kita tidak mengadukan semua keluh kesah itu kepada Allah? Bukankah
Allah sebenarnya rindu akan rintihan hamba-hamba-Nya yang salih? Dalam
sebuah hadis disebutkan, "Innallaha idza ahabba qauman ibtalahum -
Sesungguhnya Allah kalau mencintai suatu kaum, diberi-Nya bala."

Dengan demikian, Allah menurunkan bala bukan tanpa tujuan, terlebih lagi
suatu bala jangan semata-mata dilihat sebagai ganjaran atas "dosa kolektif".
Sebaiknya kita tidak buru-buru menuduh masyarakat yang ditimpa musibah telah
banyak berdosa. Sebab, salah satu fungsi bala justru adalah tanda kecintaan
Allah kepada hamba-Nya.

Nabi SAW bersabda, "Ma min muslimin, 'ushiba bi mushibatin min adza, au
maradhin hatia syaukatin tusyakkuhu ilia ka anna lahu bihi kaffarah
- Tak
seorang Muslim yang ditimpa musibah, baik berupa rasa susah, atau sakit
bahkan sebuah dun menusuk kulitnya, kecuali hal itu menjadi kaffarah
baginya."

Datangnya bala, bagi yang selamat meski cukup menderita, insya Allah
menutupi dosa-dosanya. Itulah yang disebut kaffarah. Kita memang tidak
mengharapkan datangnya bala, tapi kalau ia datang juga hendaknya kita hadapi
dengan sabar, tak perlu risau, apalagi mengumbar sumpah serapah tak karuan.

Menerima cobaan dengan penuh kesabaran adalah pangkal keberuntungan. "Wahai
orang-orang yang beriman, bersabarlah... niscaya kamu akan beruntung.
" (QS
3:211). Seorang yang masih selamat dari maut dalam suatu musibah, kendati

:terluka dan mungkin cacat seumur hidup, : seyogianya bersyukur kepada Allah

karena hal itu berarti kaffarah baginya.

Cobaan selalu berkorelasi dengan keimanan, bahkan menjadi parameter
keimanan. Seseorang belum dikatakan cukup beriman, sebelum keimanannya dites
menurut kadar yang ditentukan Allah (QS 47:31). Semakin banyak bala yang
sanggup diterima dengan kesabaran, semakin tinggi kualitasnya di hadapan
Allah.

Sebaliknya, cobaan yang diterima tanpa kesabaran selain merugikan diri
sendiri, juga mengundang murka Allah. Firman Allah, "Man lam yashbir 'ala
qadha-i wa lam yashbir 'ala bala-i falyakruz min tahtis sama-i fal yatlub
rabban siwaya
- Barang siapa tidak sabar atas keputusan-Ku dan tidak sabar
terhadap bala-Ku, silahkan keluar dari kolong langit-Ku dan cari Tuhan
selain Aku."

Bila mendengar ada bala menimpa sebagian masyarakat kita di tempat lain,
seharusnya iman kita tergetar untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah,
mendorong kita meningkatkan amal shaleh : mengirim doa, melaksanakan qunut
nazilah, atau shalat gaib bagi mereka yang mati syahid, membentuk regu-regu
relawan, dan yang tak kalah pentingnya : menyumbangkan sebagian harta kita
untuk meringankan derita mereka yang selamat.

www.amanah.or.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home