Monday, October 30, 2006

Ummat dipaksa membuat perbedaan.

Entah mengapa, perbedaan satu syawal di Indonesia ini, setelah untuk kesekian kalinya sejak aku kecil dulu sampai sekarang kerap terjadi. Tapi, baru tahun ini saya merasakan ketidakpuasan yang SANGAT dari perbedaan ini. Terlalu banyak sisiran kata yang menempatkan ummat harus mengerti akan perbedaan ini. Diberikanlah pelapis berupa : Perbedaan itu rahmat, toleransi dan saling mengerti. SATU SYAWAL 2007 nanti, boleh jadi kesombongan yang dilantunkan dengan ragam alasan oleh para petinggi agama untuk membuat perbedaan terjadi lagi. Rasanya sudah hampir dalam kurun waktu 40 tahun saya merasakan ketiadagunaan membuat perbedaan ini. Namun, yang mengesalkan adalah :

Terenggutnya kebersamaan dalam keluarga ketika takbir dan sholat Ied menjadi ritual yang tidak membangun kebersamaan dalam lingkup keluarga kecil kami.
Adanya kecenderungan saling membenarkan dengan dibungkus toleransi semu (catatan sebelumnya : Perbedaan satu syawal : Rahmatkah?).

Ada permintaan kepada ummat untuk mengerti perbedaan ini dan melakukan toleransi. Lho?, Ini benar-benar lucu dan ngaco. Kok ummat yang disuruh mengerti, bukannya para petinggi agama dan petinggi yang menetapkan 1 syawal itu yang mestinya mengerti apa yang diinginkan ummat, dibutuhkan ummat. Kok kita ini malah dimudaratkan begitu. Di sia-siakan oleh keangkuhan keyakinan dan perbedaan.

Makin tahun, aku merasa perbedaan ini adalah kesia-siaan.Berikut ini ada tulisan yang layak juga saya kutipkan, dan kebetulan baru saya baca :

Kampanyekan ''Bersama Berlebaran Bersama ''

Mari kita dukung Kampanye BERSAMA BERLEBARAN BERSAMA tahun ini dan
seterusnya.

Sehabis shalat Tarawih kemarin malam saya dihentikan oleh Fadli di serambi
masjid. Saya diajak duduk bersila bersama Uun dan Kang Ngalwi. Rupanya
mereka sudah mulai terlibat dalam suatu pembicaraan dan saya diminta
bergabung.

''Kang Ngalwi punya pertanyaan dan kita diminta menjawabnya,'' kata Fadli
setelah saya duduk. ''Katanya, kita ini hidup sekampung, seagama, sekitab
suci, senabi; tapi nanti kita akan berlebaran pada hari yang berbeda. Di
kampung ini sebagian akan berlebaran hari Senin, sebagian lagi hari Selasa.
Kenapa? Apakah ini nalar? Apakah ini patut?''

Saya tersenyum dan merasa naif. Tapi nanti dulu. Sekilas pertanyaan itu
memang terasa tidak bermutu, bahkan bodoh. Apalagi bagi mereka yang merasa
pakar di bidang agama. Oleh para alim, pertanyaan Kang Ngalwi pasti akan
digilas dengan jawaban: ''Sudahlah, pokoknya kita hormati keyakinan
masing-masing. Tahun ini, yang mau Lebaran hari Senin maupun Selasa, semua
baik-baik saja karena keduanya berpegang dengan keyakinan masing-masing, dan
keduanya punya dalil segudang untuk membenarkan keputusan yang mereka
ambil.''

Itulah kearifan tertinggi yang selama ini bisa dicapai oleh umat Islam.
Namun sebenarnya kearifan tertinggi itu masih menyisakan perasaan tidak
nyaman dalam kenyataan hidup sehari-hari, terutama di lapisan bawah.

Jadi pertanyaan Kang Ngalwi itu tidak mengada-ada, bahkan mungkin mewakili
perasaan umum masyarakat awam.

Jelasya, masyarakat awam merasa tidak nyaman bila ada Lebaran yang berbeda
hari.

Ya, bagaimana bisa nyaman (terasa konyol) ketika masjid di sebelah sudah
bertakbir dan masjid kita masih melakukan shalat Tarawih.

Bagaimana silaturahmi tidak menjadi janggal ketika kita sudah menyantap
gulai kambing, berpakaian bagus, bergembira ria karena hari Lebaran sudah
tiba tetapi tetangga masih berpuasa.

Bagaimana hati tidak terasa buntu ketika salaman kita belum bisa diterima
oleh teman yang Lebarannya baru besok hari.

''Lho, sampeyan ini diminta bergabung dengan harapan mau menjawab pertanyaan
Kang Ngalwi. Kok malah merenung,'' Fadli mengingatkan saya.

''Wah, jawaban saya pasti sudah kalian ketahui karena kita sama-sama sering
mendengar ceramah yang menyinggung masalah perbedaan hari Lebaran,'' jawab
saya.
''Baik. Kalau begitu saya ingin tanya. Kalau boleh memilih, sampeyan lebih
suka Lebaran bareng atau Lebaran sendiri-sendiri?'' kejar Fadli.

''Saya lebih suka Lebaran bareng.''
''Kenapa?''
''Rasanya, itu lebih patut, lebih enak. Bahkan andaikata Kanjeng Nabi masih
ada di tengah kita, saya yakin beliau tidak berkenan dengan Lebaran yang
tidak kompak ini.''

''Ya, betul. Jadi kenapa para alim yang memimpin umat tidak bisa kompak
dalam menentukan hari Lebaran?''

Terus terang saya malas menjawab pertanyaan ini sebab khawatir akan
ditertawakan oleh para alim. Maka saya senang ketika Uun mengambil alih dan
mencoba menjawab pertanyaan Fadli.

''Begini, Fad,'' kata Uun. ''Perbedaan keyakinan di antara para pemimpin
memang punya dasar berupa dalil-dalil. Yang jadi masalah, saya kira, adalah
sikap memutlakkan keyakinan masing-masing.''

''Memutlakkan bagaimana?''
''Memutlakkan, ya tidak bisa ditawar meski sikap itu melanggar ruh Islam
yang amat menjunjung tinggi kebersamaan. Dan membuat umat di bawah menjadi
tidak nyaman.''
''Tapi Kanjeng Nabi pernah bersabda, perbedaan di antara umat Islam adalah
rahmat.''
''Ah, kamu sendiri tahu, penerapan sabda itu tidak boleh sembarangan. Dan
saya sangat yakin Kanjeng Nabi merasa sedih dengan perbedaan hari Lebaran
ini.''
''Kalau begitu kamu punya gasasan apa?''

''Demi kemuliaan Kanjeng Nabi maka saya sampaikan gagasan ini. Tapi, Fad,
kamu jangan kaget: Mari kita putuskan jatuhnya hari Lebaran melalui
keputusan politik. Ada beberapa opsi yang ingin saya tawarkan, tapi saya
kemukakan satu saja yang paling sederhana.''
''Lebaran dengan keputusan politik?'' tanya Fadli dengan mata melebar. Terus
terang saya dan yang lain juga terkejut.

''Nah, betul kan, kalian kaget? Sebab kalian lupa Umar bin Khatab RA pernah
mengambil keputusan politik untuk mengatur suatu ritus ibadah, dalam hal ini
adalah shalat Tarawih. Bukankan shalat Tarawih berjamaah dan dilakukan
sebulan penuh merupakan pengaturan Umar bin Khatab? Apakah itu bukan
keputusan politik setelah Umar bin Khatab melihat umat Islam waktu itu
melaksanakan shalat Tarawih sendiri-sendiri sehingga di mata beliau kurang
enak dipandang?''

Kecuali Uun yang tertawa-tawa, selainnya jadi memasang wajah serius karena
merasa tersodok oleh pemikiran anak yang tidak lulus STAIN itu. Dan, masih
dengan tertawa-tawa, Uun melanjutkan omongannya.

''Bagaimana kalau umat Islam Indonesia dalam menentukan hari Lebaran kompak
saja makmum ke Makkah? Maka kita akan melaksanakan shalat Id bareng pada
hari yang sama dengan orang Makkah, hanya pelaksanaannya kita lebih cepat
empat jam. Jadi tak usah lagi ada orang yang mengaku paling jago dalam ilmu
hisab, atau paling jago dalam mengintip hilal. Dan yang penting kita jadi
lebih patut karena sebagai umat yang mengaku paling baik, bisa berlebaran
bareng.''

Uun mengakhiri omongannya dengan tertawa. Kami tak bisa berkomentar. Dan
Kang Ngalwi amat-sangat setuju. Tapi entah para alim karena Uun, itu tadi,
STAIN saja tidak tamat.

Redaksi Mualaf Center Online : Kami mengajak anda berkampanye Bersama
BerLebaran Bersama dengan mengirimkan topik ini ke Sepuluh Rekan Anda dengan
email, dengan harapan semoga Iedul Fitri tahun 1427 H ini tidak ada
perbedaan harinya. Jika dapat cc kan juga ke DPP Muhammadiyah dan DPP NU.

Tahun ini Alim Ulama NU ikhlas mengikuti keputusan Alim Ulama Muhammadiyah
dalam penentuan Iedul Fitri 1 Syawal, bergantian di tahun depan Alim Ulama
Muhammadiyah ikhlas mengikuti keputusan Alim Ulama NU dalam penentuan Iedul
Fitri 1 Syawal, karena toh dua-duanya mengklaim benar dalam penentuan 1
Syawal. Jika terjadi Hmmmm Indahnya Kebersamaan kata Aa Gym.

Resonansi Harian Republika tanggal 09 Oktober 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home