Friday, May 26, 2006

Memulai dengan Percaya

Saya kira, sifat dasar dari pemahaman manusia adalah percaya. Seorang anak akan lebih mempercayai gurunya dari pada, bahkan kadang orang tuanya. Setelah percaya, kemudian pemahaman lanjutannya dipengaruhi pengetahuan, dan lingkungan tempat dirinya berada. Semua yang diketahui dan tidak diketahui, selalu dimulai dari percaya. Pernyataan percaya ini, dalam bahasa ilmu kerap dibahasakan sebagai hipotesis. Misalnya, kalau benar bahwa alam semesta ini dahulunya adalah satu, kemudian mengembang (dengan kecepatan tertentu), tentulah ada ”sisa” radiasi di alam semesta ini. Di tahun 1948 ahli fisika George Gemof, seorang Amerika sampaikan : seandainya alam semesta ini dulunya satu dan kemudian meledak maka pasti ledakanbesar itu meninggalkan sisa-sisa radiasi di ruang. Tahun 1965 dua orang ilmuan Arnold Pengias dan Robert Wilson menemukan sisa-sisa radiasi yang tersebar di ruang angkasa. Mereka memperoleh hadiah Nobel atas keberhasilan penemuannya.
Kesimpulan kemudian menjadi ”bisa dipercaya” dan ”bisa tidak dipercaya”. Kalau begitu, apa yang harus disimpulkan ketika kita tidak bisa melacak, belum dapat memikirkan, tak mampu memikirkan. Haruslah dimulai dari tidak percaya. Mengapa harus dimulai dari tidak percaya?. Kerap ’’kesombongan’’lah yang mendorong kita untuk tidak mau mempercayai, baik diungkapkan maupun tidak diungkapkan, halus, maupun benar-benar nyata.

QS 51. Adz Dzaariyaat
20. Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.
21. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home